Senin, 22 Agustus 2011

Evoria Batik yang Kurang Tepat,Sehingga Orang lain Yang Panen Keuntungan !


Evoria Masyarakat Indonesia terhadap Keberadaan Batik sebagai salah satu Budaya Bangsa,sesuai yang di akui oleh UNESCO beberapa tahun yang lalu sepertinya sudah mulai melenceng dari apa yang sesungguhnya di cita-citakan oleh para leluhur kita terdahulu.
Hal ini hampir sama dengan apa yang tak lepas dari pengamatan Padepokan Kalimosodo dalam penilaian nya terhadap sikap Masyarakat terhadap pengejowantahan Batik sebagai Warisan Budaya Bangsa Indonesia saat ini....


Saat melihat para pejabat mengenakan busana batik yang warna warni beberapa hari lalu hati ini mulai tergelitik. Pasalnya batik yang selama ini terlantar, karena di klaim Negara tetangga akhirnya semua kalangan pada buka suara dan kebakaran jenggot. Bukan hanya para artis saja yang berlomba lomba mengenakan busana batik. Para entertainer, pengusaha, bahkan para pejabatpun ikut ikutan larut dalam tren batik.

Ketika dijakarta diadakan pameran batik stok ludes kejual. Bahkan kekurangan. Namun yang perlu dicermati lebih jauh, ternyata batik yang dihebohkan itu bukan sesuatu yang luarbiasa lagi. Pasalnya tetap saja batik yang beredar mayoritas batik-batik pabrikan yang sebenarnya telah lepas dari nilai adiluhung budaya bangsa. Lebih jauh tetap saja yang diuntungkan adalah pabrik-pabrik tekstil motif batik yang ownernya dari negara lain. Artinya kita yang sibuk menghebohkan batik, orang lain yang panen keuntungan.

Padahal jutaan pembatik yang tersebar seantero Nusantara masih setia menggeluti dunia batik tulis klasik. Mereka meronta dalam diam. Menunggu keberfihakan nasip baginya.

Ditinjau dari sisi kwalitas produk sangat bisa diandalkan. Hanya saja mereka belum bisa mengemas produk yang cantik. Belum faham Labeling. Belum ngerti branding. Belum fahan packing. Apalagi sampai pada tataran sistem marketing modern.

Disisi lain berbagai kendala mulai dari belum tersentuh akses modal, keterbatasan relasi dan sebagainya merupakan kendala utama yang mereka hadapi.

Misalnya seorang pembatik yang sudah puluhan tahun setia memproduksi batik tulis klasik yang begitu cantik. Seperti Batik tulis Canting Mas di Pacitan. Mereka memaparkan, sebenarnya untuk akses bahan baku sudah ada, akses SDM untuk produksi sudah memadahi. Akses market lumayan luas. Bahkan Konsumen produknya kalangan midle up (menengah keatas). Tidak sedikit tourist asing yang membeli produknya. Namun kalangan elite sepertinya lebih tertarik memanfaatkan produk pabrikan.

Lihat saja berapa persen dari para pejabat, para artis, para pengusaha yang sering nongol di televisi yang mengenakan batik tulis. Memang sekarang lagi tren batik, namun batik apa yang dikenakannya. Kan mayoritas batik buatan pabrik. Bukan batik tulis yang memiliki nilai budaya tinggi.

Karenanya, kalau pemerataan ekonomi ingin diwujudkan. Saatnya kita untuk kembali dan tetap cinta pada produk lokal dan yang menyerap tenaga kerja banyak. Termasuk mengenai perputaran uangnya ya yang milik kita sendiri, bukan modal asing yang saat ini merajai semua sektor.

Perlu kita ingat. Ketika terjadi gonjang-ganjing moneter seperti saat ini. Penyangga utama perekonomian kita kan UKM. Usaha kecil dan Menengah. Karenanya Cinta batik adalah bukan sekedar cinta dengan memilih sembarang batik. Tapi Batik tulis yang diproduksi oleh tangan-tangan peradaban yang memiliki nilai adiluhung misalnya seperti produknya Canting Mas Yang diproduksi dipedesaan. Menyerapt tenaga kerja banyak. Sehingga Rasa cinta kepada produk batik memiliki dampak perekonomian yang luas.

Itnilah kenyataan yang ada dan sedang terjadi di Negeri Kita tercinta Indonesia ini......masih perlunya Edukator Sejati !!